Waktu lagi sendiri dan bingung mau ngapain, kita suka mengingat-ingat
beberapa hal bodoh yang seharusnya dulu tidak kita lakukan. Kita sering
menyepelekan sebuah kekecewaan. Rasanya ini hal sepele, padahal kalau kita
letakan kaca pembesar di sana, bisa jadi kekecewaan yang dulu itu sebuah
kekecewaan yang besar.
Waktu masih kelas tiga SD, gue pernah menyesal karena
mandi hujan sendirian selepas istirahat
sekolah. Gue mandi hujan sendirian karena teman-teman gue masih mau hidup lebih
lama di bumi ini. Mereka takut dimarahi guru sekaligus takut dimarahi orang
tuanya ketika ketahuan pulang sekolah dengan keadaan tidak seperti anak SD pada
umumnya.
Baju gue basah kuyup, mata gue merah, ketek gue belum
berbulu, gue pun pulang dan meninggalkan tas serta buku-buku pelajaran di
sekolah. Btw jarak dari rumah gue ke sekolah cuma sekitar 40 langkah. Selesai
bilas di rumah, rencananya gue mau balik ke sekolahan lagi. Tapi, dunia terlalu
kejam.
Waktu gue mau balik, sekolah sudah bubaran, temen-temen
gue baru pada mulai mandi hujan, sementara gue sudah rapih dengan pupur
belepotan di muka dan payung kecil di tangan kanan. Gue kecewa. Kecewa yang cemen.
Coba aja gue bisa nahan diri untuk nggak mandi ujan sendirian dan sabar
menunggu teman-teman yang lain, pasti gue gak bakal kecewa secemen ini,
semurahan ini, dan yha, selemah ini.
Kekecewaan yang sederhana bisa membuat kita mengingatnya
untuk waktu yang lama. Sewaktu awal masuk SMP gue pernah menolak permintaan ibu
untuk bawa bekal makanan saat acara Maulid Nabi di sekolah. Gue menolak dengan
berkata:
‘aku udah SMP, bu! Ngapain bawa bekal, kayak bocah aja!’
Gue pun ngeloyor langsung pergi ke sekolah. Sampai di
sana. Sampai acara ceramah selesai, semua anak di persilakan membuka bekalnya
dan memakannya di kelas. Sedangkan gue ? gue nggak bawa bekal. Apa yang harus
gue buka ? rekening ?
Saat itu gue kecewa, marah, bingung, sekaligus malu. Akward banget nggak
sih disaat temen-temen yang lain tuker-tukeran bekal dari rumah sementara kita
cuman dzikir sambil menatap kosong ke depan dengan mata berkaca-kaca. Mau minta
nggak berani. Mau nunggu dikasih, tapi, gue baru sadar tingkat kepekaan anak
SMP itu sangat minim.
Kekecewaan yang sederhana ini, yang cemen ini, sampai
kapan pun susah buat di lupakan. Kecewa yang sepele juga pernah terjadi dengan
gue sewaktu SMA. Waktu itu gue telat datang ke sekolah, gue baru ingat pas
sampai di depan gerbang sekolah kalau sekarang hari Senin, mau puter balik udah
keburu masuk pekarangan sekolah, mau nggak mau motor gue parkir di luar
gerbang. Gue pun masuk ke sekolah bersama rombongan anak-anak lain yang sama
telatnya.
Diantara keramaian senin pagi itu, gue melihat mantan
pacar yang ikutan dihukum. Gue kaget, bingung, sekaligus malu. Semua orang
pasti malu kalo melakukan hal-hal yang tidak baik kemudian ke-gep sama orang yang pernah dia suka.
Bedanya dalam kasus gue ini kita mantanan, jadi mungkin sudah tidak saling suka
lagi, mungkin.
Hari itu semua yang terlambat diwajibkan lari keliling
lapangan basket 20 kali. Gue bersama anak-anak se-jurusan pelan-pelan
memisahkan diri dari barisan pasukan pelari. Begitu upacara dibubarkan gue
langsung mencoba berbaur dengan anak-anak yang tidak kena hukuman.
Gue masuk ke kelas dan merasa merdeka karena nggak harus
lari 20 putaran. Gue kira gue bahagia, gue kira gue senang karena berhasil
kabur dan lolos dari hukuman. Keyataannya tidak. Gue melihat dari balik jendela
kelas anak-anak yang sedang berlari mengitari lapangan.
Ada dia di sana. Ada mantan gue, dia lari sambil
senyum-senyum bahagia. Waktu itu kita sudah kelas tiga. Sudah dekat dengan
perpisahan dan ujian nasional. Gue masih menatap dia dari balik jendela kelas, mata
gue masih ingat lekukan senyum di bibirnya. Geraian rambutnya, bahkan kecepatan
rpm larinya.
Sebelumnya kita sudah putus cukup lama. Dia ini termasuk
golongan anak baik, rajin, dan juga jahat berprestasi lah pokoknya. Gue
mikir dia pasti malu banget karena udah dihukum lari. Setelah selesai lari dia
malah nyamperin gue sambil bilang.
‘kapan lagi lari keliling sekolah gara-gara telat ikut
upacara. Cuman orang lemah yang lari dari tanggung jawabnya.’
Kemudian dia berlalu begitu saja. Gue nggak berani tatap
matanya, cuma berani curi-curi dikit aja. Mungkin kalau digambarkan, tatapan
matanya itu bukan seperti orang yang kelelahan akibat baru selesai mengelilingi
lapangan basket sebanyak 20 kali, atau tatapan orang yang malu karena reputasi
sempurnanya di sekolah baru saja di rusak dengan kesalahan bernama terlambat
dan nggak ikut upacara.
Tatapan dia itu seolah bilang:
‘dasar
cemen, begini aja udah kabur’
Badan gue kayak disetrum sehabis dia natap gue dengan
tatapan ‘dasar cemen, begitu aja udah
kabur’ gitu. Apakah gue kecewa ? Jelas. Kecewa banget malah, level kecewa
ini kedengarannya biasa. Tapi, buat gue ini nggak mudah untuk dilupakan.
Gue bukan kecewa karena udah dinasehatin sama dia, atau
dicap pengecut. Gue kecewa karena nggak manfaatin moment terakhir gue bisa dihukum
sebagai anak SMA. Dihukum karena terlambat sekolah dan telat ikut upacara.
Gue kecewa kenapa dia baru menyadarkan gue setalah semua
kejadiannya telah berlalu. Dan gue kecewa. Seharusnya gue bisa memberikan kesan
perpisahan yang baik dengan orang yang pernah gue suka. Mungkin kita bisa
berlari bersebelahan dan saling menertawakan momen aneh pagi itu.
Sampai sekarang gue masih kecewa dan menyesal karena
nggak bisa membaca peluang dan situasi. Gue kecewa kenapa gue dulu bodoh sekali.
…dan sampai sekarang masih begitu, sih.
Lewat tulisan ini, gue cuman pengin mebuktikan bahwa
kecewa itu nggak selalu soal patah hati dan pacaran. Banyak kekecewaan
sederhana yang pernah kita rasakan tapi nggak pernah kita angkat ke permukaan. Kita biarkan mereka tenggelam di dasar dan
membusuk di sana.
Sekarang begini, kalau kita pernah kecewa karena suatu
hal yang kecil dan sederhana, apakah bersamaan dengan itu, kita juga pernah membuat
orang lain kecewa karena hal sederhana?
#Cerita
#Curhat
11 KOMENTAR
Duh. Ini tulisan bikin merenung walaupun ada unsur geblek-gebleknya seperti biasanya. Karena aku ngerasa related. Yha, aku juga punya beberapa kekecewaan karena hal sederhana. Yang bikin kepikiran. Kalau bisa kembali ke masa lalu, aku pengen bisa berbuat yang sebaliknya biar aku nggak kecewa kayak sekarang.Lebih ke ngecewain orang lain yang berdampak ke diri sendiri sih, itu yang bikin aku kepikiran. Itu mungkin bisa jadi jawaban dari pertanyaan bagus di akhir tulisanmu ini, Ichsan bijingek.
ReplyDeleteBtw ku jadi pengen nulis soal daftar hal-hal sederhana yang bikin kecewa. Tapi nulis di buku diari aja dah duls. Hahaha. Btw lagi.... AKU JUGA PERNAH LARI-LARI KELILING LAPANGAN BASKET GEGARA TELAT NJIR. MOTOR DIPARKIR DI LUAR GITU. TAY.
Eh satu lagi deh. Siapa mantan kamu itu, San? Sebut nama.
Duh, jadi ikut sedih, sampai tidak bisa berkata-kata.
ReplyDelete(ini contoh komentar satu paragraf yang tidak patut dicontoh)
Engga nyangka y si Abang pernah sekolah juga
ReplyDeleteMulai dari SD sampe SMA
Itu pas main ujan2an, kulitnya luntur g?
Itu pas g bawa bekel, kenapa g makan bangku sekolah j
Katanya sh makan bangku sekolah itu bikin pinter
Jadi makin cinta sama Ichsan setelah baca tulisan kekecewaan ini. Ichsan kalau lagi sendu, ganteng ya.
ReplyDeleteanjir
DeleteOh jadi iksan ngomong doang sok kuat tapi giliran dihukum bareng temen maunya kabur sendiri? :)
ReplyDeletedi balik anunya ichsan ternyata dia punya kisah yang anu.
ReplyDeleteSepele padahal, ya. Tapi betul terasa kecewanya karena itu salah satu hal kenapa kita lari dari tanggung jawab. :))
ReplyDeleteoke ini lagi bahas-bahasin penyesalannya san, heee gue jadi ingt dulu dianterin makanan sama bokap waktu lg magang, tp gue tolak krn engga enak sama orng magang yang lain, mau bagi bagi juga makannannya dikit, ya gitu deh,,, sampe skrng gue masih nyesel, sedih aja gitu klo dibayangin , berasa kruang ajar banget.
ReplyDeletebtw san, gue kalo lagi sendiri dan bingung mau ngapain, gue pasti mulutnya jadi pengen ngunyah, jadi gue masak deh, even gue ga laper wkkw, ternyata kita berbedaaahh
Ini namanya nasib! kita nggk pernah tahu kedepan akan terjadi hal seperti apa. Saya juga kalo jadi seorang ichsan pasti bakalan kabur menyelamatkan jiwa dan raga dari hukuman lari 20 putaran lapangan basket.
ReplyDeleteTapi jikalau seandainya saja kita tahu klo si mantan akan berkata sedemikian menantang seperti itu pastinya kita gk bakalan kabur. Jujur aja nih san, klo gw dikatain kayak gitu sama mantan, gue akan langsung lari keliling lapangan basket sebanyak 100 kali! Dan bilang ke dia
"kapan lagi lari keliling sekolah gara-gara kabur terlambat ikut upacara. Cuman orang lemah yang lari 50 putaran" *BOOOM!
iya, mustinya pas itu jangan lari dari tanggung jawab. dasar cemen.
ReplyDeleteTerima Kasih buat kalian yang udah mau ninggalin komentar. Nggak perlu nyepam atau tebar link buat dapat feedback dari gue. Cukup rajin kasih komentar gue pasti bakal kasih feedback balik. Kalian senang gue juga Senang, double deh senangnya ^^
Yang Ngetik -@Ichsanrmdhni